Bandung, CyberNews. Rekahan di sekitar area Kawah Timbang, Gunung Dieng memang harus diwaspadai. Dari celah-celah ini, gas beracun yang ditakutkan itu mengembus keluar.
Menurut peneliti gunung api PVMBG, Igan S Sutawidjaya, rekahan di sekitar kawah terjadi karena merupakan bidang lemah, tapi bisa pula karena ikut terpengaruh goncangan gempa tektonik yang relatif mengentak.
"Kalau gempa vulkanik relatif kecil pengaruhnya, di bawah 2 SR, tidak dirasakan. Kalau tektonik, bisa berpotensi memunculkan rekahan baru," tandasnya di Bandung, Jumat (3/6).
Bagaimana dengan kawah-kawah di dataran tinggi Dieng, terutama Timbang? Igan menyebutkan pemetaan terhadap rekahan terutama dalam kaitan mitigasi kebencanaan sudah dilakukan.
Hanya saja, apakah ada rekahan baru yang muncul di arena sekitar kawah belum bisa dipastikan. Untuk itu, situasi ini perlu diantisipasi.
Dia meminta masyarakat mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan Tim Tanggap Darurat Gunung Dieng PVMBG. Terlebih, kadar gas beracun terutama karbondioksida (CO2) sudah melebihi ambang batas.
Diingatkan Igan, dengan sifat gas tidak berbau dan tampak, resikonya fatal ketika terhirup manusia. Terlebih gas itu keluar melalui rekahan yang dikhawatirkan tidak disadari oleh masyarakat yang berkegiatan di sekitar kawah.
"Karena bisa saja tiba-tiba, begitu menghirup langsung ambruk," tandasnya.
Tidak hanya merujuk Peristiwa Sinila, dia menyebut bahwa korban tewas karena paparan gas beracun pernah pula terjadi Gunung Salak. Kawah Jurig dan Siluman di Tangkuban Perahu, yang terkesan seram itu pun disebutnya sebagai gambaran betapa bahayanya sengatan gas beracun itu.
Igan tak menampik bahwa kadar gas yang dikeluarkan dari perut Dieng bakal "terbakar" begitu terpapar sinar matahari. Hanya saja, dia mempertanyakan kondisi cuaca di kawasan itu. Apakah akan cerah terus?
Dalam situasi kebanyakan mendung, imbuhnya, berat jenis gas itu bakal lebih berat dibanding udara. Kondisi itu membuat laju konsentrasi gas bisa menuruni alur lembah dengan mengikuti kabut yang membungkus kawah dan wilayah sekitar.
Terperangkap di dalamnya jelas bisa menjadi malapetaka. Dalam kaitan ini, masyarakat kembali diingatkan akan bahaya dari aktivitas gunung api yang berpotensi mematikan.
Atas kondisi siaga Dieng, Igan menyebut adanya tren kenaikan kegiatan vukanik sebagai akibat kumpulan gas yang telah terperangkap lama di bawah kawah Timbang. Karena tekanannya semakin besar dan tak tertahan, gas dari dalam perut bumi itu kemudian mencari ruang keluar ke permukaan.
Alirannya dapat mencari bidang yang lemah, atau menyelusup lewat rekahan baru. Begitu keluar, hembusannya sekali lagi membawa potensi bahaya tak ringan. Kesadaran Masyarakat Meski bahaya, seperti dalam kasus letusan gunung api, respon masyarakat sekitar titik bahaya tak selamanya langsung menanggapi seperti di Kelud hingga Merapi, dan kali ini di Dieng.
Warga sontak tak langsung menuju pos-pos penampungan. Mereka tentu punya alasan tersendiri. Salah satunya, harta benda yang khawatir menjadi korban terlalu dini dari rangkaian proses mitigasi itu. Keyakinan pengetahuan akan kebiasaan bergaul dengan gunung tersebut juga kadang menjadi keyakinan mereka.
Ketika ini terjadi, bahaya betapa pun dijelaskan dengan gamblang terkesan tak lagi menjadi fokus utama. Tak kurang Kepala PVMBG Dr Surono membujuk dalam berbagai kesempatan. Bahwa proses itu tak lebih keseimbangan, sebuah timbal balik.
Dikatakan, alam meminta sedikit setelah sekian lama memberi, caranya dengan mengikuti "kemauan" sang gunung api untuk sementara waktu. Maksudnya, mungkin menjauhi sang gunung api, yang pasti dirindukan dan tak perlu membencinya karena akibat yang ditimbulkannya. Semuanya pasti kembali, mungkin dengan mendapat "imbalan" yang lebih besar di kemudian hari.
Tak mudah memang, tapi diharapkan sejumlah kasus letusan gunung api itu bisa membuat kita tersadar. Larut dalam proses yang tak perlu dipaksa-paksa. Tapi persoalannya, kita semua tampaknya perlu membuat kesepakatan baru dalam upaya penanganan bencana, termasuk tahapan tanggap darurat saat diaplikasikan kepada masyarakat. Apa bentuknya, generasi mendatang mungkin akan menjadi jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar